Na'udzubillahi
minasy-syaithanirrajim
Bismillahirrahmanirrahim
Allahummash
sholli wasallim wabarik 'ala sayyidina muhammad wa 'ala ali sayyidina
muhammad
Sekarang
banyak terlihat orang-orang yang kembali kepada agama fitrah,
setidaknya itu yang saya rasakan, banyak pemuda kembali kepada
masjid, gemar sholat berjamaah di masjid, anak-anak yang
beramai-ramai datang ke masjid (ya walaupun disambil dengan kegiatan
bermain mereka bersama teman-temannya) apapun itu, pemandangan itu
membuat saya senang, karena dahulunya dimasa saya kecil, kami
anak-anak justru tidak mau ke masjid, bawaannya “seram” aja jika
ke masjid, tapi Alhamdulillah sekarang tabir mata umat islam mulai
terlepas dari tipuan syaitan yang memberikan “image” kelam
terhadap masjid, ya walaupun anak-anak itu datang dengan tujuan
bermain setidaknya ketika iqamah berkumandang mereka berkenan
merapatkan shaf untuk berjamaah, bagaimana dengan kita yang sudah
tidak bisa disebut anak-anak ini, sudah berkenankah hati kita untuk
menggerakkan tubuh ini datang berjamaah ke masjid? Bismillah, jika
kita belum bisa frontal berubah, setidaknya ada niatan untuk berubah
dengan memulainya sedikit demi sedikit, dan tidak hanya bermodal niat untuk berubah tanpa gerakan memulai sama sekali.
Hari
ini ditengah gerakan pemersatuan ummat, justru banyak bermunculan
pemikiran-pemikiran bahkan sikap yang justru mengarah kepada
pemecahan ummat. Miris memang, disaat ummat agama lain tidak akan
mampu menghancurkan agama fitrah ini, pemikiran-pemikiran sekuler
yang melekat disebagian ummat muslim dan dengan sedikit hembusan
nafsu oleh syaitan, justru membuat kita sesama muslim terpecah,
akankah hanya karena perbedaan yang sedikit lantas kita harus
terpecah, agama ini terlalu indah untuk kita nodai dengan nafsu kita.
Apakah kita tidak bisa mencoba melihat perbedaan itu sebagai unsur
yang bisa memperkuat ukhuwah kita, bukankah kita hanya berbeda pada
perkara furu' atau cabang ilmu saja, sementara pada perkara ushul
atau akar ilmu kita tetap sama, Qul huwallahu ahad, dan perbedaan
yang kita hadapi ini tidaklah perkara yang termasuk dalam perkara merusak iman kita, ya yang
coba saya maksudkan disini adalah perbedaan dalam beberapa hal dalam
sholat, diantaranya apakah bersedekap itu letaknya didada, diantara
perut dan dada, atau sedikit dibawah perut? Atau pada perkara apakah
pada tasyahud itu jari telunjuk bergerak atau tetap diam? Atau juga
pada perkara apakah ada qunut pada saat subuh ataukah tidak ada? Dan
juga apakah niat sholat itu dilafadzkan dalam bentuk 'usholli' atau
tidak? Sebenarnya perbedaan perbedaan ini hanya seputar masalah furu'
atau cabang saja, dan tidak merusak keimanan kita. Jika kita mau
terbuka menerima ilmu, kita mau mencari dan belajar, perbedaan itu
tidak akan membuat kita terpecah, justru membuat kita saling
menghargai sesama muslim. Ingat... ini hanya boleh berlaku pada perkara furu', kita
tidak boleh berbeda pendapat pada perkara ushul, karena berbeda di
bidang ushul akan mempengaruhi keimanan kita.
Jika
berkenan hati ini terbuka mempelajari ilmu, kita akan tahu apa alasan
dan dasar ilmu orang yang meletakkan tangannya didada ketika
bersedekap, apa yang menjadi dasar ilmu orang-orang yang berqunut
ketika sholat subuh, apa yang menjadi dasar orang yang mengerakkan
jari telunjuknya ketika tasyahud, dan apa yang menjadi dasar ilmu
orang-orang yang melafadzkan niat sholatnya.
InsyaAllah
yang akan kita bicarakan kali ini adalah hanya seputar apakah hukum melafadzkan
niat? Apakah usholli itu bid'ah dan tak boleh dilaksanakan?
Pertama
kita kaji tentang niat terlebih dahulu, apakah
hukum sholat orang yang tidak berniat? Jawabannya adalah
sholatnya tidak sah, karenya semua amal mesti diawali dengan niat,
sesuai dengan sabda rasulullah yang diriwayatkan dari umar bin
khaththab “innama a’malu binniati, wa innama likullim ri-in
Manawa” –segala amal diawali dengan niat, seseorang akan
mendapatkan sesuai dengan niatnya- (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu bagaimana dengan
posisi niat?
Tiga mazhab sepakat,
yaitu Mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali bahwa sah hukumnya jika
niat
mendahului
Takbiratul-Ihram dalam waktu yang singkat.
Berbeda dengan Mazhab
Syafi’I, mereka berpendapat: niat mesti beriringan dengan
Takbiratu-Ihram,
jika ada bagian dari
Takbiratul-Ihram yang kosong dari niat, maka shalat itu batal
(dituliskan oleh Syekh Abu Bakar al-Jaza’iri, dalam kitab al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz.1, hal.237)
Melafadzkan niat, .
Syekh
Abu Bakar al-Jaza’iri menyebutkan dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Arba’ah:
Syekh
Abu Bakar al-Jaza’iri ini mengajar ilmu fiqih di masjid nabawi,
kitab beliau “al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah”
dijadikan referensi utama dalam
mempelajari ilmu fiqih, didalam kitabnya tersebut beliau menyebutkan
:
“Sesungguhnya
yang dianggap dalam niat itu adalah hati, ucapan lidah bukanlah niat,
akan tetapi membantu
untuk mengingatkan hati, kekeliruan pada lidah tidak memudharatkan
selama niat hati itu benar”.
Hukum
ini disepakati kalangan Mazhab Syafi’I dan Mazhab Hanbali.
Sedangkan menurut Mazhab Maliki dan Hanafi Melafazkan niat tidak
disyariatkan dalam shalat, kecuali jika orang yang shalat itu
was-was.
Mazhab
Maliki : Melafazkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama
bagi orang yang tidak was-was, dianjurkan melafazkan niat bagi orang
yang was-was.
Mazhab
Hanafi : Melafazkan niat itu bid’ah, dianggap baik dianjurkan
melafadzkan untuk menolak was-was
Mazhab
Syafi’i : Dianjurkan melafadzkan niat. Itulah mengapa
disebagian besar tempat di sekitar kita melafadzkan niat, untuk
mengusir was-was.
Jadi jika ada orang yang
ketika memulai sholatnya tanpa melafadzkan niat, berarti dia memakai
faham mazhab maliki dan dia adalah orang yang tidak memiliki was-was
dalam hatinya (berbaik sangkalah), namun jika ada pula yang
melafazkan niatnya maka janganlah pula lantas disalahkan karena
mungkin dia adalah orang yang mengamalkan faham mazhab syafi'i dan
ada was-was dalam hatinya dan dia melafazkan niat sebagai wasilah untuk mengusir was-was dalam hatinya.
Dan satu hal yang perlu
kita pelajari dari para imam mazhab adalah dan ini yang paling
penting untuk kita pahami adalah para imam tidak pernah menyalahkan
pendapat imam yang lain, mengapa? Karena mereka orang yang berilmu dan memahami ilmu yang
mereka pelajari, dan mereka paham bahwa setiap imam dalam
mengeluarkan pendapat dan hujjah itu berdasarkan petunjuk alquran dan
hadist, sehingga hujjah yang dikeluarkan itu adalah sesuatu yang
memiliki dasar dalil.
Sedangkan kita? Kita
hanya tahu 1 atau 2 hadist, lalu ketika orang lain melakukan gerakan
yang sedikit berbeda dari kita, lalu lantas berani menyalahkannya
tanpa kita tahu apakah perbuatan yang mereka lakukan itu ada dasar
hukumnya.
Dihujung pengharapan
teruntai kalimat, janganlah kita saling berpecah hanya karena berbeda
dalam perkara furu', persatuan ummat lebih utama untuk kita
perjuangkan. Jika kita tidak bisa untuk memperkuat ummat ini sekuat
ummat salafushsholih, maka janganlah kita menjadi pihak yang justru
melemahkan ummat ini.
Allahumma faqqihna fiddin
wa 'alimna takwil
Allahumma faqqihna fiddin
wa 'alimna takwil
Allahumma faqqihna fiddin
wa 'alimna takwil
Wallahu ta'ala a'lam
Bumi Allah, 19 Jumadil
Awwal 1436 H / 10 Maret 2015 M
0 komentar " [Fiqih] Apakah “Usholli” itu bid’ah? Apa hukum melafadzkan niat? ", Baca atau Masukkan Komentar
Post a Comment
Silahkan berikan komentarnya